Cari Blog Ini

Minggu, 11 Desember 2011

Apa itu Asah, Asih dan Asuh ???

Asah Asih Asuh Pola Pembentuk Karakter
Orangtua mana yang tak senang melihat buah hati yang dinantikan sembilan bulan lamanya, tumbuh sempurna.Tak hanya asupan nutrisi, pola asuh yang baik turut menentukan perkembangan fisik dan mentalnya di kemudian hari.ASAH, asih, asuh. Para ibu mungkin familier dengan istilah ini. Namun, apakah Ibu yakin sudah menerapkannya kepada putra-putri Ibu? Cinta dan kasih sayang disebut juga dengan asih; berbagai stimulasi yang ibu berikan dikategorikan sebagai asah; sedangkan pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang, papan, dan kesehatan merupakan bagian dari asuh.
Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian dan kasih sayang yang akan berdampak terhadap perkembangan fisik, mental, dan emosionalnya. ”Kasih sayang dari kedua orangtuanya ini merupakan fondasi kehidupan bagi si anak dan menjadi modal utama rasa aman,terlebih ketika dia mengeksplor dunianya,” kata spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli dr Purnamawati S Pujiarto Sp A(K).
Orangtua bisa mengungkapkan rasa cinta kasih melalui pelukan, sentuhan, belaian, senyuman, dukungan,mendengar keluh kesah dan celotehnya, serta meluangkan waktu bermain dengan si kecil. ”Bahkan, selama 6 bulan pertama, respons segera ketika bayi menangis, sangat besar artinya bagi perkembangan kepribadian dan emosionalnya,”ungkapnya.
Untuk menunjang tumbuh kembang dan proses belajar, anak harus terpenuhi kebutuhan dasarnya (asuh). Bawa bayi ke posyandu secara teratur untuk diperiksa kesehatannya dan dipantau tumbuh kembangnya. Lindungi mereka dengan imunisasi tepat waktu dan berikan ASI selama enam bulan. Pemberian stimulasi seperti berbicara, berkomunikasi, dan membaca juga tak kalah penting.
Beri stimulasi pada semua indra anak dan ajaklah bayi berbicara sesering mungkin,seperti ketika mengganti popok, menyusui dan memandikan sehingga otaknya senantiasa aktif. Penelitian membuktikan, anak yang kerap diajak bicara dan berkomunikasi secara intensif akan memiliki IQ lebih tinggi dan perbendaharaan kata yang lebih kaya. ”Stimulasi tidak harus mahal atau dalam bentuk sekolah. Daily life adalah sekolah yang ”sesungguhnya” di rumah. Misalkan saat ada kucing berkejaran,ibu berseru di depan anak: ’Lihat, ada kucing kejar-kejaran! Kenapa ya? Oh ternyata sedang rebutan makanan’,” sebut Purnamawati, mencontohkan.
Ketika anak ingin bermain, berikan mainan atau objek dari berbagai jenis, bentuk, warna, bunyi, tekstur, dan berat. Kegiatan interaktif seperti bermain ciluk ba, jalan-jalan keliling kompleks, bernyanyi, belanja, dan menyiram bunga bersama merupakan upaya stimulasi yang sangat baik. Selain itu, membaca juga penting untuk membentuk perbendaharaan kata, menstimulasi imajinasi, dan meningkatkan kemampuan bahasa si anak.
”Stimulasi hendaknya disesuaikan perkembangan usia. Ketika anak mulai belajar merangkak misalnya, jangan terlalu banyak dilarang sebab mereka juga butuh ruang untuk mengembangkan kekuatan ototnya, merangkak, merambat, dan berjalan. Kalau serbadilarang akibatnya dia menjadi anak yang tidak berani mencoba,” tuturnya. Contoh lainnya adalah ketika anak ingin membuka suatu kotak, tapi tampak kesulitan sering kali ibu tergerak ingin membantu.Jangan lakukan dan biarkan anak mencoba sendiri.
Kalau masih kesulitan,perlihatkan bagaimana cara membuka kotak itu lalu kembalikan kotak dalam keadaan tertutup agar anak bisa membukanya sendiri. Hal ini dapat melatih kemampuannya dalam berpikir dan menyelesaikan masalah. Ketiga unsur (asah, asih, dan asuh) yang dipaparkan di atas mungkin memiliki definisi dan kategori berbeda. Namun, dalam praktiknya ketiga unsur tersebut tidak berjalan sendirisendiri tapi saling berhubungan.
”Dalam pola pengasuhan, asah, asih, dan asuh itu saling terkait. Ketika menstimulasi, kita juga memberikan kasih sayang. Jadi, ketiganya ada dalam satu paket,” tandas Purnamawati. Sementara itu, psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI Erfianne Cicilia Psi mengungkapkan, pola asuh orangtua juga tidak lepas dari pola asuh lingkungan, seperti pengasuh, kakek-nenek, dan saudara terdekat. Hal ini juga akan memengaruhi pembentukan karakter si anak.
Karakter setiap anak sebetulnya terbentuk sesuai genetik orangtuanya dan bersifat menetap sehingga harus diterima apa adanya. ”Perubahan karakter anak pada dasarnya bukan ’berubah’,melainkan ’melemah’ atau ’menguat’. Dalam hal ini lingkungan dan pola asuh orangtua memegang peranan penting. Karenanya, terapkan pola asuh sesuai karakter anak, berikan stimulasi, dan jadilah sahabat bagi anak,”ujarnya.
Kebiasaan yang Diturunkan
KULTUR dan latar belakang orangtua turut berpengaruh pada pola asuh yang diterapkan dalam keluarga. Orangtua juga perlu berhati-hati, sebab segala tindak tanduk dan perilakunya bisa dicontoh oleh si anak. Artinya, pola asuh sifatnya bisa menurun (intergenerational transmission).
”Kalau kita biasa diasuh dengan kehalusan, diajak ngomong dan diberi pemahaman secara baik-baik pasti akan menurun pada anak kita. Sebaliknya, kalau orangtua sudah terbiasa dengan kekerasan seperti main tampar, cubit dan pecut tanpa sadar anak juga akan berbuat seperti itu,” kata psikiater dari Klinik Mutiara Hatiku Ika Widyawati MD. Dia mencontohkan,ada anak yang bercerita pada neneknya bahwa ayahnya suka memukul, lalu si anak berkata, ’Kapankapan aku ingin memukul ayah kalau dia lagi tidur’.”Itu adalah suatu bentuk dendam dan seharusnya tidak terjadi, apalagi kalau dendamnya terbawa sampai besar,”ujarnya.
Dia menambahkan bahwa pola asuh itu sifatnya prinsipiil. Jadi sebenarnya tidak ada pola asuh yang salah, sebab pada dasarnya tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Hanya, cara mengasuhnya itu yang terkadang salah,misalkan dengan kekerasan.
”Dalam mendidik anak, orangtua harus tegas dan konsisten.Pastikan tidak melakukan abusive atau kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, apalagi kekerasan seksual,” tegas wanita yang juga mengepalai Infant Mental Health di FKUI/RSCM ini. Sebagai orangtua harus sadar dalam mengajar anak karena sering kali terlalu emosi.Ada yang mengatakan bahwa orangtua itu bukan guru yang baik bagi anaknya sendiri.
Artinya, kalau mengajar anak orang lain sampai ratusan pun masih bisa diasuhnya, tapi saat mengajar anak sendiri kadang bisa sampai naik darah. Kenapa demikian? Sebab,orangtua penuh harapan terhadap si anak dan terkadang berlebihan. ”Sejak dalam kandungan, orangtua sudah punya bayangan tentang ’the fantastic child’ dan kenyataannya sering kali tidak sama dengan ’the real child’- nya.
Karena itu ketika anak jadi ’biang kerok’ belum apa-apa orangtua sudah mengamuk duluan. Anak pulang membawa hasil ulangan yang jeblok, orangtua sudah nyolot saja. Padahal, seharusnya ditanya dan diteliti dulu kenapa si anak mendapat nilai jelek,siapa tahu dia sedang sakit,”saran Ika. Reward positif dan konsistensi dalam mendidik juga diperlukan, antara lain untuk mendisiplinkan dan memacu anak berbuat lebih baik lagi.
Jadi, bukan hukuman (punishment) yang ditonjolkan,melainkan rewardatau hadiahnya,baik berupa pujian, makanan kecil atau kue. ”Yang penting anak dibiasakan bahwa kalau dia berusaha, maka dia akan mendapatkan sesuatu,tapi bukan berarti kalau dia tidak bisa, dia akan dihukum,”tandasnya.
Adu Pendapat Bukan Berantem
ARTIS Soraya Haque berpendapat bahwa pola asah asih asuh itu sifatnya sangat psikologis dan ini diterapkan antara lain dengan mengasah potensi anak melalui orangtua sebagai role model.
”Modelling atau percontohan itu dasar bentukannya dari rumah dan itu adalah tugas orangtua yang paling penting, yaitu memberi contoh yang baik,” ungkap wanita yang biasa disapa Aya ini. Dalam mengasuh ketiga putra-putrinya, kakak kandung artis Marissa Haque ini mengatakan bahwa prinsipnya adalah kasih sayang yang menjembatani pola pengasuhan itu.
Contoh sederhananya adalah mengajarkan anak bersahabat dengan alam dengan tidak merusak alam dan tidak menyakiti binatang. Cara orangtua melihat dan memandang masalah serta bagaimana mengambil keputusan juga kerap dicontoh anak. Aya tidak mempermasalahkan ketika dirinya dan sang suami (musisi Eki Soekarno) beradu pendapat atau berargumen di depan anakanaknya.
”Beradu pendapat tidak berarti berantem. Ini juga sebagai bentuk pembelajaran bagi anakanak bahwa berbeda pendapat itu adalah hal wajar. Kadang kami juga minta pendapat mereka apa sekiranya ada yang salah? Dan mereka pun mengemukakan pandangannya, misalkan ’mama kurang ini’ atau ’papa seharusnya gini’,” ungkap ibunda dari Valerie, Nadia dan Dalmiro ini.
Sebagai pasangan seniman, Aya dan Eki menginginkan anak-anaknya bisa berkecimpung atau setidaknya memiliki keterampilan di bidang seni, antara lain bermain piano. ”Hingga mereka berusia 12 tahun peraturan ditentukan oleh kami orangtuanya, antara lain mereka harus bisa bermain piano. Setelah itu di atas usia 12 tahun mereka sudah bisa berpikir dan menentukan sendiri apakah akan terus bermusik,” tutur Aya seraya menambahkan bahwa anakanaknya juga mempelajari bela diri dengan tujuan untuk menjaga diri m a u p u n berkompetisi. (inda susanti)
Sumber : Seputar Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar