Cari Blog Ini

Minggu, 11 Desember 2011

Pola Asuh Orang tua

Hal terpenting dalam menentukan bentuk pola asuh, adalah apa tujuan atau harapan dalam mendidik anak-anak. Efek jangka panjang akibat salah pola asuh, anak akan kehilangan arah dan pegangan dalam menapaki kehidupannya.
Reno (9 tahun) sering bingung menghadapi kedua orangtuanya. Sang ibu sangat ketat mengawasinya dalam hal mengerjakan tugas sekolah, sedangkan ayahnya, justru kebalikannya. Kadang ayahnya mengajaknya makan es krim, padahal ibunya jelas-jelas melarangnya makan es krim karena baru saja sembuh dari radang tenggorokan. “Ah, cuma sedikit, kok. Lagipula, kan sekarang sudah sembuh sakitnya, boleh dong makan es krim,” jawab ayahnya dengan santai jika ditegur oleh ibunya. Biasanya, kejadian seperti itu diikuti dengan pertengkaran kecil antara kedua orangtuanya. Reno jadi bingung harus mendengarkan perkataan siapa, ayahnya atau ibunya. Biasanya, untuk amannya, ia menuruti saja perkataan mereka berdua, terlebih jika bisa menguntungkan dirinya.
Saat yang paling membahagiakan baginya adalah ketika kakek dan neneknya berkunjung ke rumahnya. Ia bisa melakukan dan meminta apa pun yang ia inginkan. Kalau sudah begitu, kedua orangtuanya biasanya tidak bisa berbuat apa-apa. Lama-kelamaan, Reno makin mengerti apa yang harus dilakukannya untuk mendapatkan keinginannya pada orangtua dan kakek neneknya. Bila ia ingin dimanja maka ia akan lari pada neneknya dan bila menginginkan sesuatu, ia biasanya akan memilih untuk bersama ayahnya.

Bentuk-bentuk Pola Asuh
DR. Rosa Diniari, MA, sosiolog dari UI, menyatakan bahwa pola asuh merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Ada beberapa bentuk pola asuh yang biasanya diterapkan orangtua pada anaknya. Menurut Melvin Kohn dan Brofenbrenner ada dua bentuk pola asuh. “Yaitu repressive socialization, yaitu pola asuh yang sosialisasinya berpusat pada orangtua dan memperhatikan kepatuhan anak, dan participatory socialization, yaitu pola asuh yang sosialisasinya berpusat pada anak dan otonominya berada pada anak,” ujar Rosa.
Repressive socialization, menurut Rosa, memiliki ciri-ciri bahwa anak harus memperhatikan keinginan orangtua, komunikasi sering berbentuk perintah dan non verbal, hukuman diberikan pada anak jika perilakunya tidak sesuai dengan harapan dan tanpa bertanya dulu pada anak, penerapan hukuman sering salah, dan baik hukuman maupun imbalan cenderung berbentuk material. Sedangkan participatory socialization, memiliki ciri-ciri orangtua memperhatikan kebutuhan anak, komunikasi sebagai interaksi verbal, memberi imbalan bagi perilaku yang diharapkan, dan baik hukuman dan imbalan biasanya berbentuk simbolis.  “Selain pola asuh partisipasi dan represif, ada juga pola asuh orangtua dalam menanamkan disiplin pada anak-anaknya yang dikembangkan oleh Elizabeth B. Hurlock, yaitu otoriter, demokratis, dan permisif,” Rosa menambahkan.
Dalam pola asuhan otoriter, orangtua memiliki kaidah dan peraturan yang kaku dalam mengasuh anaknya. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman. Sedikit sekali atau tidak pernah ada pujian atau tanda-tanda yang membenarkan tingkah laku anak apabila mereka melaksanankan aturan tersebut. Tingkah laku anak dikekang dan tidak ada kebebasan kecuali perbuatan yang sudah ditetapkan oleh peraturan. Orangtua tidak mendorong anak untuk mengambil keputusan sendiri, melainkan menentukan bagaimana anak harus berbuat. Dengan demikian anak tidak memperoleh kesempatan untuk mengendalikan perbuatannya.
Pada pola asuh demokratis, orangtua menggunakan diskusi, penjelasan dan alasan yang membantu anak agar mengerti mengapa ia diminta untuk mematuhi suatu aturan. Orangtua menekankan aspek pendidikan ketimbang aspek hukuman. Hukuman tidak pernah kasar dan hanya diberikan apabila anak dengan sengaja menolak perbuatan yang harus ia lakukan. Apabila perbuatan anak sesuai dengan apa yang patut ia lakukan, orangtua memberikan pujian. Orangtua yang demokratis adalah orangtua yang berusaha untuk menumbuhkan kontrol dari dalam diri anak sendiri.
Pada pola asuh permisif, biasanya ditandai dengan orangtua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak, dan tidak pernah memberikan hukuman kepada anak. Pola ini ditandai oleh sikap orangtua yang membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan-batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orangtua bertindak. Pada pola ini pengawasan  menjadi sangat longgar.
Selain bentuk-bentuk pola asuh di atas, dalam dunia psikologi juga dikenal bentuk pola asuh yang diterapkan pada anak. Menurut Dra. Augustine S. Basri, MSi, psikolog dari UI, selain bentuk pola asuh otoriter, demokratis dan permisif, dalam bidang psikologi juga dikenal bentuk pola asuh uninvolved, yang diperkenalkan oleh Eleanor Maccoby. Pola asuh yang satu ini bisa dikatakan benar-benar ekstrim karena orangtua sama sekali tidak berinteraksi dengan anaknya. “Orangtua cenderung mengabaikan sang anak. Berbeda dengan permisif, yaitu jika permisif cenderung membiarkan anak mendapatkan pengalamannya sendiri karena ingin membuat anak mandiri, maka sikap membiarkan dalam pola asuh yang satu ini justru cenderung karena orangtua tidak peduli pada anaknya,” ungkapnya.
Dari semua bentuk pola asuh tersebut, menurut Augustine, pola asuh demokratis atau otoritatif merupakan bentuk yang paling baik dan efektif untuk diterapkan pada anak. “Karena anak diajak untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat serta pemikirannya. Hal ini akan membuat anak menjadi mandiri, kreatif, bertanggung jawab, berani, dan bisa jadi diri sendiri. Itu yang paling penting,” ujarnya.

Faktor Penentu Penerapan Pola Asuh
Meski begitu, ada beberapa hal atau faktor yang mempengaruhi sebuah keluarga dalam memilih bentuk pola asuh untuk diterapkan pada anaknya. Menurut Augustine dan Rosa, yang paling penting harus diingat orangtua dalam menentukan bentuk pola asuh, adalah tujuan atau harapan dalam mendidik anak-anak mereka. “Belum tentu mereka hanya menggunakan satu bentuk saja, bisa jadi mereka menggunakan semua bentuk pola asuh sekaligus atau secara bergantian,”Rosa menegaskan.
Menurut Augustine, ada dua faktor yang mempengaruhi pemilihan pola asuh orangtua terhadap anak, yaitu faktor internal dan eksternal. “Yang termasuk faktor internal, misalnya latar belakang keluarga orangtuanya, usia orangtua dan anak, pendidikan dan wawasan orangtua, jenis kelamin orangtua dan anak, karakter anak dan konsep peranan orangtua dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal, misalnya adalah tradisi yang berlaku dalam lingkungannya, sosial ekonomi lingkungan, dan semua hal yang berasal dari luar keluarga tersebut yang bisa mempengaruhi keluarga tersebut dalam menerapkan suatu bentuk pola asuh,” ujarnya.
Latar belakang keluarga orangtua, menurut Rosa, maksudnya adalah biasanya orangtua akan menyamakan diri mereka dengan pola asuh yang dipergunakan oleh orangtua atau keluarga besar mereka. Misalnya, suku Padang menganut sistem Matriarki, sedangkan suku Jawa yang menganut sistem Patriarki. Bisa juga, orangtua menganggap bahwa pola asuh orangtua mereka yang terbaik, maka ketika mempunyai anak mereka kembali memakai pola asuh yang mereka terima. Sebaliknya bila mereka menganggap bahwa pola asuh orangtua mereka dahulu salah, biasanya mereka memakai pola yang berbeda. Misalnya kalau dulu mereka menerima pola asuh yang otoriter dari orangtua mereka, sekarang mereka menggunakan pola yang demokratis atau permisif terhadap anak-anaknya.
Usia dari orangtua dan anak juga bisa mempengaruhi orangtua dalam memilih suatu bentuk pola asuh bagi anaknya. Orangtua yang usianya masih muda cenderung untuk memilih pola sosialisasi yang demokratis atau permisif dibanding dengan mereka yang sudah lanjut usia. Pada umumnya pola yang otoriter sering digunakan pada anak-anak kecil, karena mereka belum mengerti secara pasti mana yang baik dan buruk, mana yang salah dan benar, sehingga orangtua kelihatan lebih sering memaksa atau menekan.
Tinggi rendahnya jenjang pendidikan yang dikecap orangtua juga menentukan pola asuh dalam sebuah keluarga. Semakin tinggi dan maju pendidikan orangtua, biasanya semakin baik pula keputusan mereka dalam menerapkan suatu pola asuh pada anak-anaknya. Orang dewasa yang telah mengikuti kursus persiapan perkawinan, kursus kesejahteraan keluarga, atau kursus pemeliharaan anak, cenderung untuk menggunakan pola yang demokratis. Ini terjadi karena mereka menjadi lebih mengerti tentang anak dan kebutuhan-kebutuhannya. “Orangtua yang tradisional cenderung lebih menggunakan pola yang otoriter dibandingkan orangtua yang lebih modern,” tutur Rosa.
Jenis kelamin orangtua dan anak, sedikit banyak, juga harus diperhatikan orangtua dalam menerapkan pola asuh. Pada umumnya wanita lebih mengerti tentang anak, oleh karenanya lebih demokratis terhadap anaknya dibandingkan dengan  orangtua laki-laki. “Tapi hal ini bisa terjadi kebalikannya. Ayah yang lebih permisif dan ibu yang lebih otoriter. Semua tergantung sifat bawaan dan kesepakatan orangtua,” ujar Augustine.
Orangtua juga biasanya memperlakukan anak-anak mereka sesuai dengan jenis kelaminnya. Misalnya terhadap anak perempuan mereka harus menjaga lebih ketat sehingga menggunakan pola yang otoriter. Sedang terhadap anak laki-laki cenderung lebih permisif atau demokratis atau mungkin juga sebaliknya. Meski begitu, Augustine menyarankan agar penerapan pola asuh pada anak laki-laki dan perempuan tidak bersifat kaku. “Karena tidak ada jaminan jika diterapkan pola asuh yang permisif pada anak laki-laki, maka mereka tak akan terlibat kenakalan remaja. Justru bisa saja yang terjadi sebaliknya,” katanya.
Menurut Augustine, karakter atau sifat bawaan anak merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan oleh orangtua dalam menerapkan suatu bentuk pola asuh. Bagi anak-anak yang agresif, lebih baik menggunakan pola pola asuh yang otoriter, sedang anak-anak yang muda merasa takut dan cemas lebih baik digunakan pola yang demokratis. “Yang sering terjadi adalah orangtua tidak pernah memperhatikan faktor karakter anak ketika menerapkan pola asuh. Anak yang introvert, penakut, dan pendiam justru harus mendapatkan perhatian lebih dalam pengasuhan,” ungkap Rosa.
Selain faktor-faktor internal, ada juga faktor eksternal yang bisa mempengaruhi pilihan orangtua dalam mengasuh anak-anaknya. Tradisi yang berlaku di lingkungannya atau dianggap paling baik oleh masyarakat di sekitarnya. Pilihan ini terutama dilakukan oleh orangtua yang usianya masih muda dan kurang pengalaman. Mereka lebih dipengaruhi oleh apa yang dianggap baik oleh masyarakat di sekitarnya daripada oleh keyakinannya sendiri.
Status sosial ekonomi juga mempengaruhi orangtua dalam menggunakan pola sosialisasi mereka bagi anak-anaknya. “Misalnya, jika orangtuanya adalah orang yang terpandang di suatu lingkungan, maka biasanya orangtua akan menerapkan pola otoriter karena ingin anak-anaknya menurut padanya, sehingga pandangan orang lain pada orangtuanya tetap baik,” tutur Augustine.
Atau, bisa juga karena keluarganya termasuk biasa-biasa saja, orangtuanya tak bisa membiarkan anaknya berbuat sebebas anak dari keluarga yang lebih kaya. Misalnya, tidak bisa sembarangan menggunakan listrik karena biayanya mahal, atau tidak bisa leluasa menggunakan kendaraan orangtuanya karena bensin naik dan mahal. “Depresi orangtua karena situasi sosial ekonomi yang terjadi di lingkungannya, misalnya kenaikan BBM, juga bisa memicu orangtua untuk menerapkan pola asuh tertentu pada anak-anaknya. Yang tadinya permisif bisa jadi otoriter,” Augustine menambahkan.

Sesuai Komitmen dan Bersifat Fleksibel
Dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi keputusan orangtua dalam menentukan pola asuh anak, semakin besar pula kemungkinan perbedaan yang dapat terjadi antara orangtua lelaki dan perempuan. “Dari segi pembagian peran dalam keluarga saja, ayah dan ibu memiliki perbedaan,” ujar Rosa. Dalam ilmu sosiologi, peran ayah adalah sebagai pencari nafkah, pelindung dan pengayom keluarga sehingga diharapkan bisa bersikap tegas, bijaksana, mengasihi keluarganya namun tetap berpartisipasi dalam masalah pengasuhan dan pendidikan anak.
Sedangkan ibu lebih berperan sebagai orang yang bisa memenuhi kebutuhan anak, merawat keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten, mendidik, mengatur dan mengendalikan anak, sehingga diharapkan ibu bisa menjadi contoh dan teladan bagi anak. “Tapi, semua itu tidak bisa digeneralisasi alias bersifat konstekstual, semua itu harus disesuaikan kembali kepada karakter, komitmen dan tujuan ayah dan ibu dalam membentuk keluarga dan anak-anaknya di masa depan,” paparRosa.
Karena itulah, menurut Rosa, wajar saja jika terjadi perbedaan antara pola asuh yang dianut ayah dengan pola asuh yang dianut ibu. “Kuncinya hanya satu, yaitu adanya kesepakatan dan komitmen yang dijaga dengan konsisten dan saling menghargai,” tegasnya. Kesepakatan dan komitmen ini wajib dilakukan orangtua dalam mengasuh anak untuk menghindari berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi akibat ketidakakuran orangtua dalam mengasuh dan mendidik anaknya.
Augustine menuturkan, pola asuh yang tepat dan efektif sangat penting peranannya dalam pengembangan psikologi anak karena bisa membentuk kepribadian anak di masa depan. Kehidupan awal anak dimulai dari orangtua dan rumahnya. Karena itu, orangtualah yang bertanggung jawab terhadap masa depan anak karena semua tergantung orangtua saat pertama kali menetapkan tujuan dan harapan terhadap anaknya di masa depan. Jika sampai terjadi kesalahan dalam pola asuh, efeknya tidak hanya akan dirasakan oleh anak, tetapi orangtua juga pasti akan ikut merasakannya. “Orangtua pasti akan kecewa jika anaknya tidak bisa memenuhi harapannya hanya karena kepribadian anaknya tidak berkembang dengan baik karena salah pola asuh,” tambahnya.
Untuk jangka panjang, efek yang akan dirasakan anak akibat salah pola asuh antara lain adalah anak akan kehilangan arah dan pegangan dalam menapaki kehidupannya. “Anak akan bingung kepada siapa dia akan berpegang, pada ayahnya atau ibunya, karena mereka berdua adalah orangtuanya,” ungkap Augustine. Anak juga bisa kehilangan kesempatan untuk menerima, menerapkan dan mengadaptasi nilai-nilai yang diturunkan orangtuanya secara maksimal dan mantap. Pada akhirnya, anak bisa menjadi orang yang tidak jujur pada dirinya sendiri, lebih suka mencari aman daripada menyelesaikan masalah, tidak kreatif, dan lain sebagainya. “Kesenjangan generasi juga bisa terjadi jika orangtua salah menerapkan pola asuh pada anaknya. Perasaan dendam, tidak menghormati atau menghargai orangtua, juga bisa terjadi karena hal ini,” kata Augustine lagi.
Meski begitu, Augustine mengakui bahwa semua itu tidak bisa digeneralisasi pasti akan terjadi pada setiap orangtua yang salah menerapkan pola asuh pada anaknya, karena banyak juga yang terjadi justru sebaliknya. “Semua kembali pada karakter dan lingkungan di mana anak tersebut tumbuh dan berkembang. Bisa saja anak itu malah tumbuh menjadi anak yang lebih arif dan bijaksana dalam menghadapi orangtuanya,” ujarnya. Namun menurut Augustine, hasil penelitian ilmu psiko dinamika keluarga mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang membuat orang menjadi terganggu kesehatan mentalnya adalah salah pola asuh. “Karena itu, sedini mungkin, orangtua harus bisa lebih bijaksana dalam menerapkan pol aasuh,” tambahnya.
Selain adanya komitmen sejak awal antara ayah dan ibu tentang tujuan dan harapan pada anaknya di masa depan, untuk menyatukan pola asuh antara ayah dan ibu dibutuhkan kesadaran bahwa setiap orang memang berbeda. Ayah berbeda dengan ibu, dan pastinya anak juga berbeda dengan orangtuanya. “Cara penanganannya mungkin saja berbeda dalam mengasuh anak, tapi yang penting prinsip dan tujuannya sama, yaitu, misalnya, ingin agar anaknya jadi anak yang mandiri, sukses, bertanggung jawab, atau lain sebagainya,” ujar Augustine.
Negosiasi dan komunikasi adalah hal yang harus selalu dijaga orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak. Augustine mengatakan, tidak perlu dan memang tidak bisa menerapkan satu pola asuh yang baku sejak kecil sampai besar. Hidup selalu berubah, lengkap dengan dinamikanya, oleh karena itu, orangtua juga harus siap untuk berubah dan menghadapi perubahan. “Pola pikir kuno tolong tidak perlu dipaksakan pada anak yang hidup di masa modern dan dinamis ini,” Augsutine menegaskan. Belajarlah juga untuk bisa menghargai anak, lengkap dengan kemampuan dan pola pikirnya. “Asal bisa dikomunikasikan, semuanya pasti bisa menghasilkan output yang positif bagi orangtua dan anak. Ingatlah bahwa bagaimana pun, orangtua tetap menjadi role model bagi anaknya,” ujar Augustine.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar